Cerita Dewasa 17 tahun terbaru | cerita sex abg | cerita seks SMA - inilah buat anda penggemar cerita dewasa  , berikut ini koleksi  cerita dewasa seks terbaru untuk anda  ,
kenal ama adeknya dulu...eh dapet ****k kakaknya
Dari Adiknya, Dapat Kakaknya
Selesai sekolah Sabtu itu langsung  dilanjutkan rapat pengurus OSIS.  Rapat itu dilakukan sebagai persiapan  sekaligus pembentukan panitia  kecil pemilihan OSIS yang baru. Seperti  tahun-tahun sebelumnya,  pemilihan dimaksudkan sebagai regenerasi dan  anak-anak kelas 3 sudah  tidak boleh lagi dipilih jadi pengurus, kecuali  beberapa orang pengurus  inti yang bakalan “naik pangkat” jadi penasihat.
Usai  rapat, aku bergegas mau langsung pulang, soalnya sorenya ada acara   rutin bulanan: pulang ke rumah ortu di kampung. Belum sempat aku  keluar  dari pintu ruangan rapat, suara nyaring cewek memanggilku.
“Didik  .. “ aku menoleh, ternyata Sarah yang langsung melambai supaya  aku  mendekat. “Dik, jangan pulang dulu. Ada sesuatu yang pengin aku  omongin  sama kamu,” kata Sarah setelah aku mendekat.
“Tapi Rah, sore ini aku mau ke kampung. Bisa nggak dapet bis kalau kesorean,” jawabku.
“Cuman  sebentar kok Dik. Kamu tunggu dulu ya, aku mberesin ini dulu,”  Sarah  agak memaksaku sambil membenahi catatan-catatan rapat. Akhirnya  aku  duduk kembali.
“Dik, kamu pacaran sama Nita ya?” tanya Sarah  setelah ruangan sepi,  tinggal kami berdua. Aku baru mengerti, Sarah  sengaja melama-lamakan  membenahi catatan rapat supaya ada kesempatan  ngomong berdua denganku.
“Emangnya, ada apa sih?” aku balik bertanya.
“Enggak ada apa-apa sih .. “ Sarah berhenti sejenak. “Emmm, pengin nanya aja.”
“Enggak kok, aku nggak pacaran sama Nita,” jawabku datar.
“Ah, masa. Temen-temen banyak yang tahu kok, kalau kamu suka jalan bareng sama Nita, sering ke rumah Nita,” kata Sarah lagi.
“Jalan bareng kan nggak lantas berarti pacaran tho,” bantahku.
“Paling  juga pakai alasan kuno ‘Cuma temenan’,” Sarah berkata sambil  mencibir,  sehingga wajahnya kelihatan lucu, yang membuatku ketawa.  “Cowok di  mana-mana sama aja, banyak bo’ongnya.”
“Ya terserah kamu sih kalau kamu nganggep aku bohong. Yang jelas, sudah aku bilang bahwa aku nggak pacaran sama Nita.”
Aku  sama sekali tidak bohong pada Sarah, karena aku sama Nita memang  sudah  punya komitmen untuk ‘tidak ada komitmen’. Maksudnya, hubunganku  dengan  Nita hanya sekedar untuk kesenangan dan kepuasan, tanpa janji  atau  ikatan di kemudian hari. Hal itu yang kujelaskan seperlunya pada  Sarah,  tentunya tanpa menyinggung soal ‘seks’ yang jadi menu utama  hubunganku  dengan Nita.
“Nanti malem, mau nggak kamu ke rumahku?” tanya Nita sambil melangkah keluar ruangan bersamaku.
“Kan udah kubilang tadi, aku mau pulang ke rumah ortu nanti,” jawabku.
“Ke rumah ortu apa ke rumah Nita?” tanya Sarah dengan nada menyelidik dan menggoda.
“Kamu mau percaya atau tidak sih, terserah. Emangnya kenapa sih, kok nyinggung-nyinggung Nita terus?” aku gantian bertanya.
“Enggak  kok, nggak kenapa-kenapa,” elak Sarah. Akhirnya kami jalan  bersama  sambil ngobrol soal-soal ringan yang lain. Aku dan Sarahpun  berpisah di  gerbang sekolah. Nita sudah ditunggu sopirnya, sedang aku  langsung  menuju halte. Sebelum berpisah, aku sempat berjanji untuk main  ke rumah  Nita lain waktu.
*****
Diam-diam aku merasa geli. Masak  malam minggu itu jalan-jalan sama  Sarah harus ditemani kakaknya, dan  diantar sopir lagi. Jangankan untuk  ML, sekedar menciumpun rasanya  hampir mustahil. Sebenarnya aku agak  ogah-ogahan jalan-jalan model  begitu, tapi rasanya tidak mungkin juga  untuk membatalkan begitu saja.  Rupanya aturan orang tua Sarah yang  ketat itu, bakalan membuat  hubunganku dengan Sarah jadi sekedar  roman-romanan saja. Praktis acara  pada saat itu hanya jalan-jalan ke  Mall dan makan di ‘food court’.
Di  tengah rasa bete itu aku coba menghibur diri dengan mencuri-curi   pandang pada Mbak Indah, baik pada saat makan ataupun jalan. Mbak Indah,   adalah kakak sulung Sarah yang kuliah di salah satu perguruan tinggi   terkenal di kota ‘Y’. Dia pulang setiap 2 minggu atau sebulan sekali.   Sama sepertiku, hanya beda level. Kalau Mbak Indah kuliah di ibukota   propinsi dan mudik ke kotamadya, sedang aku sekolah di kotamadya   mudiknya ke kota kecamatan.
Wajah Mbak Indah sendiri hanya masuk  kategori lumayan. Agak jauh  dibandingkan Sarah. Kuperhatikan wajah Mbak  Indah mirip ayahnya sedang  Sarah mirip ibunya. Hanya Mbak Indah ini  lumayan tinggi, tidak seperti  Sarah yang pendek, meski sama-sama agak  gemuk.
Kuperhatikan daya tarik seksual Mbak Indah ada pada  toketnya. Lumayan  gede dan kelihatan menantang kalau dilihat dari  samping, sehingga  rasa-rasanya ingin tanganku menyusup ke balik  T-Shirtnya yang longgar  itu. Aku jadi ingat Nita. Ah, seandainya tidak  aku tidak ke rumah  Sarah, pasti aku sudah melayang bareng Nita.
Saat Sarah ke toilet, Mbak Indah mendekatiku.
“Heh, awas kamu jangan macem-macem sama Sarah!” katanya tiba-tiba sambil memandang tajam padaku.
“Maksud Mbak, apa?” aku bertanya tidak mengerti.
“Sarah itu anak lugu, tapi kamu jangan sekali-kali manfaatin keluguan dia!” katanya lagi.
“Ini ada apa sih Mbak?” aku makin bingung.
“Alah,  pura-pura. Dari wajahmu itu kelihatan kalau kamu dari tadi  bete,” aku  hanya diam sambil merasa heran karena apa yang dikatakan  Mbak Indah itu  betul.
“Kamu bete, karena malem ini kamu nggak bisa ngapa-ngapain  sama Sarah,  ya kan?” aku hanya tersenyum, Mbak Indah yang tadinya tutur  katanya  halus dan ramah berubah seperti itu.
“Eh, malah senyam-senyum,” hardiknya sambil melotot.
“Memang nggak boleh senyum. Abisnya Mbak Indah ini lucu,” kataku.
“Lucu kepalamu,” Mbak Indah sewot.
“Ya luculah. Kukira Mbak Indah ini lembut kayak Sarah, ternyata galak juga!” Aku tersenyum menggodanya.
“Ih,  senyam-senyum mlulu. Senyummu itu senyum mesum tahu, kayak matamu  itu  juga mata mesum!” Mbak Indah makin naik, wajahnya sedikit memerah.
“Mbak cakep deh kalau marah-marah,” makin Mbak Indah marah, makin menjadi pula aku menggodanya.
“Denger  ya, aku nggak lagi bercanda. Kalau kamu berani macem-macem sama  adikku,  aku bisa bunuh kamu!” kali ini Mbak Indah nampak benar-benar  marah.
Akhirnya  kusudahi juga menggodanya melihat Mbak Indah seperti itu,  apalagi  pengunjung mall yang lain kadang-kadang menoleh pada kami.  Kuceritakan  sedikit tentang hubunganku dengan Sarah selama ini, sampai  pada acara  ‘apel’ pada saat itu.
“Kalau soal pengin ngapa-ngapain, yah, itu  sih awalnya memang ada.  Tapi, sekarang udah lenyap. Sarah sepertinya  bukan cewek yang tepat  untuk diajak ngapa-ngapain, dia mah penginnya  roman-romanan aja,”  kataku mengakhiri penjelasanku.
“Kamu ini ngomongnya terlalu terus-terang ya?” Nada Mbak Indah sudah mulai normal kembali.
“Ya buat apa ngomong mbulet. Bagiku sih lebih baik begitu,” kataku lagi.
“Tapi .. kenapa tadi sama aku kamu beraninya lirak-lirik aja. Nggak berani terus-terang mandang langsung?”
Aku  berpikir sejenak mencerna maksud pertanyaan Mbak Indah itu.  Akhirnya  aku mengerti, rupanya Mbak Indah tahu kalau aku diam-diam  sering  memperhatikan dia.
“Yah .. masak jalan sama adiknya, Mbak-nya mau diembat juga,” kataku sambil garuk-garuk kepala.
Setelah  itu Sarah muncul dan dilanjutkan acara belanja di dept. store  di mall  itu. Selama menemani kakak beradik itu, aku mulai sering  mendekati Mbak  Indah jika kulihat Sarah sibuk memilih-milih pakaian.  Aku mulai lancar  menggoda Mbak Indah.
Hampir jam 10 malam kami baru keluar dari  mall. Lumayan pegal-pegal  kaki ini menemani dua cewek jalan-jalan dan  belanja. Sebelum keluar  dari mall Mbak Indah sempat memberiku sobekan  kertas, tentu saja tanpa  sepengetahuan Sarah.
“Baca di rumah,” bisiknya.
***
Aku  lega melihat Mbak Indah datang ke counter bus PATAS AC seperti yang   diberitahukannya lewat sobekan kertas. Kulirik arloji menunjukkan jam   setengah 9, berarti Mbak Indah terlambat setengah jam.
“Sori  terlambat. Mesti ngrayu Papa-Mama dulu, sebelum dikasih balik   pagi-pagi,” Mbak Indah langsung ngerocos sambil meletakkan hand-bag-nya   di kursi di sampingku yang kebetulan kosong. Sementara aku tak berkedip   memandanginya. Mbak Indah nampak sangat feminin dalam kulot hitam,   blouse warna krem, dan kaos yang juga berwarna hitam. Tahu aku pandangi,   Mbak Indah memencet hidungku sambil ngomel-ngomel kecil, dan kami pun   tertawa. Hanya sekitar sepuluh menit kami menunggu, sebelum bus   berangkat.
Dalam perjalanan di bus, aku tak tahan melihat Mbak  Indah yang merem  sambil bersandar. Tanganku pun mulai mengelu-elus  tangannya. Mbak Indah  membuka mata, kemudian bangun dari sandarannya dan  mendekatkan  kepalanya padaku.
“Gimana, Mbaknya mau di-embat juga?” ledeknya sambil berbisik.
“Kan  lain jurusan,” aku membela diri. “Adik-nya jurusan roman-romanan,   Mbak-nya jurusan … “ Aku tidak melanjutkan kata-kataku, tangan Mbak   Indah sudah lebih dulu memencet hidungku. Selebihnya kami lebih banyak   diam sambil tiduran selama perjalanan.
***
Yang disebut  kamar kos oleh Mbak Indah ternyata sebuah faviliun.  Faviliun yang  ditinggali Mbak Indah kecil tapi nampak lux, didukung  lingkungannya yang  juga perumahan mewah.
“Kok bengong, ayo masuk,” Mbak Indah  mencubit lenganku. “Peraturan di  sini cuman satu, dilarang mengganggu  tetangga. Jadi, cuek adalah cara  paling baik.”
Aku langsung  merebahkan tubuhku di karpet ruang depan, sementara  setelah meletakkan  hand-bag-nya di dekat kakiku, Mbak Indah langsung  menuju kulkas yang  sepertinya terus on.
“Nih, minum dulu, habis itu mandi,” kata Mbak Indah sambil menuangkan air dingin ke dalam gelas.
“Kan tadi udah mandi Mbak,” kataku.
“Ih,  jorok. Males aku deket-deket orang jorok,” Mbak Indah tampak  cemberut.  “Kalau gitu, aku duluan mandi,” katanya sambil menyambar  hand-bag dan  menuju kamar. Aku lihat Mbak Indah tidak masuk kamar, tapi  hanya membuka  pintu dan memasukkan hand-bag-nya. Setelah itu dia  berjalan ke belakang  ke arah kamar mandi.
“Mbak,” Mbak Indah berhenti dan menoleh mendengar panggilanku. “Aku mau mandi, tapi bareng ya?”
“Ih,  maunya .. “ Mbak Indah menjawab sambil tersenyum. Melihat itu aku   langsung bangkit dan berlari ke arah Mbak Indah. Langsung kupeluk dia   dari belakang tepat di depan pintu kamar mandi. Kusibakkan rambutnya,   kuciumi leher belakangnya, sambil tangan kiriku mengusap-usap pinggulnya   yang masih terbungkus kulot. Terdengar desahan Mbak Indah, sebelum dia   memutar badan menghadapku. Kedua tangannya dilingkarkan ke leherku.
“Katanya  mau mandi?” setelah berkata itu, lagi-lagi hidungku jadi  sasaran,  dipencet dan ditariknya sehingga terasa agak panas. Setelah  itu  diangkatnya kaosku, dilepaskannya sehingga aku bertelanjang dada.   Kemudian tangannya langsung membuka kancing dan retsluiting jeans-ku.   Lumayan cekatan Mbak Indah melakukannya, sepertinya sudah terbiasa.   Seterusnya aku sendiri yang melakukannya sampai aku sempurna telanjang   bulat di depan Mbak Indah.
“Ih, nakal,” kata Mbak Indah sambil menyentil rudalku yang terayun-ayun akibat baru tegang separo.
“Sakit Mbak,” aku meringis.
“Biarin,”  kata Mbak Indah yang diteruskan dengan melepas blouse-nya  kemudian kaos  hitamnya, sehingga bagian atasnya tinggal BH warna hitam  yang masih  dipakainya. Aku tak berkedip memandangi sepasang toket Mbak  Indah yang  masih tertutup BH, dan Mbak Indah tidak melanjutkan melepas  pakainnya  semua sambil tersenyum menggoda padaku.
Birahi benar-benar sudah  tak bisa kutahan. Langsung kuraih dan naikkan  BH-nya, sehingga sepasang  toket-nya yang besar itu terlepas.
“Ih, pelan-pelan. Kalau BH-ku  rusak, emangnya kamu mau ganti,”  lagi-lagi hidungku jadi sasaran. Tapi  aku sudah tidak peduli. Sambil  memeluknya mulutku langsung mengulum  tokenya yang sebelah kanan.
Mbak Indah tidak berhenti mendesah  sambil tangannya mengusap-usap  rambutku. Aku makin bersemangat saja,  mulutku makin rajin menggarap  toketnya sebelah kanan dan kiri  bergantian. Kukulum, kumainkan dengan  lidah dan kadang kugigit kecil.  Akibat seranganku yang makin intens itu  Mbak Indah mulai menjerit-jerit  kecil di sela-sela desahannya.
Beberapa menit kulakukan aksi yang  sangat dinikmati Mbak Indah itu,  sebelum akhirnya dia mendorong  kepalaku agar terlepas dari toketnya.  Mbak Indah kemudian melepas BH,  kulot dan CD-nya yang juga berwarna  hitam. Sementara bibirnya nampak  setengah terbuka sambil mendesi lirih  dan matanya sudah mulai sayu,  pertanda sudah horny berat.
Belum sempat mataku menikmati  tubuhnya yang sudah telanjang bulat,  tangan kananya sudah menggenggam  rudalku. Kemudian Mbak Indah berjalan  mundur masuk kamar mandi sementara  rudalku ditariknya. Aku meringis  menahan rasa sakit, sekaligus pengin  tertawa melihat kelakuan Mbak  Indah itu.
Mbak Indah langsung  menutup pintu kamar mandi setelah kami sampai di  dalam, yang diteruskan  dengan menghidupkan shower. Diteruskannya dengan  menarik dan memelukku  tepat di bawah siraman air dari shower. Dan …
“mmmmhhhh …. “  bibirnya sudah menyerbu bibirku dan melumatnya.  Kuimbangi dengan aksi  serupa. Seterusnya, siraman air shower mengguyur  kepala, bibir bertemu  bibir, lidah saling mengait, tubuh bagian depan  menempel ketat dan  sesekali saling menggesek, kedua tangan  mengusap-usap bagian belakang  tubuh pasangan, “Aaaaaahhh,” nikmat luar  biasa.
Tak ingat berapa  lama kami melakukan aksi seperti itu, kami  melanjutkannya dalam posisi  duduk, tak ingat persis siapa yang mulai.  Aku duduk bersandar pada  dinding kamar mandi, kali ku luruskan,  sementar Mbak Indah duduk di atas  pahaku, lututnya menyentuh lantai  kamar mandi. Kemudian kurasakan Mbak  Indah melepaskan bibirnya dari  bibirku, pelahan menyusur ke bawah.  Berhenti di leherku, lidahnya  beraksi menjilati leherku,  berpindah-pindah. Setelah itu, dilanjutkan  ke bawah lagi, berhenti di  dadaku. Sebelah kanan-kiri, tengah jadi  sasaran lidah dan bibirnya.  Kemudian turun lagi ke bawah, ke perut,  berhenti di pusar. Tangannya  menggenggam rudalku, didorong sedikit ke  samping dengan lembut,  sementara lidahnya terus mempermainkan pusarku.  Puas di situ, turun  lagi, dan bijiku sekarang yang jadi sasaran.  Sementara lidahnya beraksi  di sana, tangan kanannya mengusap-usap  kepala rudalku dengan lembut. Aku  sampai berkelojotan sambil  mengerang-erang menikmati aksi Mbak Indah  yang seperti itu.
Pelahan-lahan bibirnya merayap naik menyusuri  batang rudalku, dan  berhenti di bagian kepala, sementara tangannya ganti  menggenggam bagian  batang. Kepala rudalku dikulumnya, dijilati,  berpindah dan  berputar-putar, sehingga tak satu bagianpun yang terlewat.  Beberapa  saat kemudian, kutekan kepala Mbak Indah ke bawah, sehingga  bagian  batanku pun masuk 2/3 ke mulutnya. Digerakkannya kepalanya naik  turun  pelahan-lahan, berkali-kali. Kadang-kadang aksinya berhenti  sejenak di  bagian kepala, dijilati lagi, kemudian diteruskan naik turun  lagi.  Pertahananku nyaris jebol, tapi aku belum mau terjadi saat itu.  Kutahan  kepalanya, kuangkat pelan, tapi Mbak Indah seperti melawan. Hal  itu  terjadi beberapa kali, sampai akhirnya aku berhasil mengangkat   kepalanya dan melepas rudalku dari mulutnya.
Kuangkat kepala Mbak  Indah, sementara matanya terpejam. Kudekatkan, dan  kukulum lembut  bibirnya. Pelan-pelan kurebahkan Mbak Indah yang masih  memejamkan mata  sambil mendesis itu ke lantai kamar mandi. Kutindih  sambil mulutku  melahap kedua toketnya, sementara tanganku meremasnya  bergantian.
Erangannya,  desahannya, jeritan-jeritan kecilnya bersahut-sahutan di  tengah  gemericik siraman air shower. Kuturunkan lagi mulutku, berhenti  di  gundukan yang ditumbuhi bulu lebat, namun tercukur dan tertata rapi.   Beberapa kali kugigit pelan bulu-bulu itu, sehingga pemiliknya   menggelinjang ke kanan kiri. Kemudian kupisahkan kedua pahanya yang   putih,besar dan empuk itu. Kubuka lebar-lebar. Kudaratkan bibirku di   bibir memeknya, kukecup pelan. Kujulurkan lidahku, kutusuk-tusukan pelan   ke daging menonjol di antar belahan memek Mbak Indah. Pantat Mbak  Indah  mulai bergoyang-goyang pelahan, sementara tangannya menjambak  atau  lebih tepatnya meremas rambutku, karena jambakannya lembut dan  tidak  menyakitkan. Kumasukkan jari tengahku ku lubang memeknya, ku  keluar  masukkan dengan pelan. Desisan Mbak Indah makin panjang, dan  sempat ku  lirik matanya masih terpejam. Kupercepat gerakan jariku di  dalam lubang  memeknya, tapi tangannya langsung meraih tanganku yang  sedang beraksi  itu dan menahannya. Kupelankan lagi, dan Mbak melepas  tangannya dari  tanganku. Setiap kupercepat lagi, tangan Mbak Indah  meraih tanganku  lagi, sehingga akhirnya aku mengerti dia hanya mau  jariku bergerak  pelahan di dalam memeknya.
Beberapa menit kemudian, kurasakan  Mbak Indah mengangkat kepalaku  menjauhkan dari memeknya. Mbak Indah  membuka mata dan memberi isyarat  padaku agar duduk bersandar di dinding  kamar mandi. Seterusnya merayap  ke atasku, mengangkang tepat di depanku.  Tangannya meraih rudalku,  diarahkan dan dimasukkan ke dalam lubang  memeknya.
“Oooooooooooohh ,” Mbak Indah melenguh panjang dan  matanya kembali  terpejam saat rudalku masuk seluruhnya ke dalam  memeknya. Mbak Indah  mulai bergerak naik-turun pelahan sambil sesekali  pinggulnya membuat  gerakan memutar. Aku tidak sabar menghadapi aksi Mbak  Indah yang  menurutku terlalu pelahan itu, mulai kusodok-sodokkan  rudalku dari  bawah dengan cukup cepat. Mbak Indah menghentikan  gerakannya, tangannya  menekan dadaku cukup kuat sambil kepala  menggeleng, seperti melarangku  melakukan aksi sodok itu. Hal itu terjadi  beberapa kali, yang  sebenarnya membuatku agak kecewa, sampai akhirnya  Mbak Indah membuka  matanya, tangannya mengusap kedua mataku seperti  menyuruhkan memejamkan  mata. Aku menurut dan memejamkan mataku.
Setelah  beberapa saat aku memejamkan mata, aku mulai bisa memperhatikan  dengan  telingaku apa yang dari tadi tidak kuperhatikan, aku mulai bisa   merasakan apa yang dari tadi tidak kurasakan. Desahan dan erangan Mbak   Indah ternyata sangat teratur dan serasi dengan gerakan   pantatnya,sehingga suara dari mulutnya, suara alat kelamin kami yang   menyatu dan suara siraman air shower seperti sebuah harmoni yang begitu   indah. Dalam keterpejaman mata itu, aku seperti melayang-layang dan   sekelilingku terasa begitu indah, seperti nama wanita yang sedang   menyatu denganku. Kenikmatan yang kurasakan pun terasa lain, bukan   kenikmatan luar biasa yang menhentak-hentak, tapi kenikmatan yang   sedikit-sedikit, seperti mengalir pelahan di seluruh syarafku, dan   mengendap sampai ke ulu hatiku.
Beberapa menit kemudian gerakan  Mbak Indah berhenti pas saat rudalku  amblas seluruhnya. Ada sekitar 5  detik dia diam saja dalam posisi  seperti itu. Kemudian kedua tangannya  meraih kedua tanganku sambil  melontarkan kepalanya ke belakang. Kubuka  mataku, kupegang kuat-kuat  kedua telapak tangannya dan kutahan agar Mbak  Indah tidak jatuh ke  belakang. Setelah itu pantatnya membuat gerakan ke  kanan-kiri dan  terasa menekan-nekan rudal dan pantatku.
“Aaa ..  aaaaaa … aaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhh,” desahan dan jeritan  kecil Mbak  Indah itu disertai kepala dan tubuhnya yang bergerak ke  depan. Mbak  Indah menjatuhkan diri padaku seperti menubruk, tangannya  memeluk  tubukku, sedang kepalanya bersandar di bahu kiriku. Ku balas  memeluknya  dan kubelai-belai Mbak Indah yang baru saja menikmati  orgasmenya. Sebuah  cara orgasme yang eksotik dan artistik.
Setelah puas meresapi  kenikmatan yang baru diraihnya, Mbak Indah  mengangkat kepala dan membuka  matanya. Dia tersenyum yang diteruskan  mencium bibirku dengan lembut.  Belum sempat aku membalas ciumannya,  Mbak Indah sudah bangkit dan  bergeser ke samping. Segera kubimbing dia  agar rebahan dan telentang di  lantai kamar mandi. Mbak Indah mengikuti  kemauanku sambil terus  menatapku dengan senyum yang tidak pernah lepas  dari bibirnya. Kemudian  kuarahkan rudalku yang rasanya seperti  empot-empotkan ke lubang  memeknya, kumasukkan seluruhnya. Setelah  amblas semuanya Mbak Indah  memelekku sambil berbisik pelan.
“Jangan di dalam ya sayang, aku  belum minum obat,” aku mengangguk pelan  mengerti maksudnya. Setelah itu  mulai kugoyang-goyang pantatku  pelan-pelan sambil kupejamkan mata. Aku  ingin merasakan kembali  kenikmatan yang sedikit-sedikit tapi meresap  sampai ke ulu hati seperti  sebelumnya. Tapi aku gagal, meski beberapa  lama mencoba. Akhirnya aku  membuat gerakan seperti biasa, seperti yang  biasa kulakukan pada tante  Ani atau Nita. Bergerak maju mundur dari  pelan dan makin lama makin  cepat.
“Aaaah… Hoooohh,” aku hampir  pada puncak, dan Mbak Indah cukup cekatan.  Didorongnya tubuhku sehingga  rudalku terlepas dari memeknya. Rupanya  dia tahu tidak mampu mengontrol  diriku dan lupa pada pesannya.  Seterusnya tangannya meraih rudalku  sambil setengah bangun.  Dikocok-kocoknya dengan gengaman yang cukup  kuat, seterusnya aku  bergeser ke depan sehingga rudalku tepat berada di  atas perut Mbak  Indah.
“Aaaaaaaah … aaaaaaahhh … crottt… crotttt  ..,” beberapa kali spermaku  muncrat membasahi dada dan perut Mbak Indah.  Aku merebahku tubuhku yang  terasa lemas di samping Mbak Indah, sambil  memandanginya yang asyik  mengusap meratakan spermaku di tubuhnya.
“Hampir lupa ya?” lagi-lagi hidungku jadi sasarannya waktu Mbak Indah mengucapkan kata-kata itu.
***
Selama  di bus dalam perjalanan pulang aku memejamkan mata sambil   mengingat-ingat pengalaman yang baru saja ku dapat dari Mbak Indah. Saat   di kamar mandi, dan saat mengulangi sekali lagi di kamarnya. Seorang   wanita dengan gaya bersetubuh yang begitu lembut dan penuh perasaan.
“Kalau  sekedar mengejar kepuasan nafsu, itu gampang. Tapi aku mau  lebih. Aku  mau kepuasan nafsuku selaras dengan kepuasan yang terasa di  jiwaku.”
Kepuasan  yang terasa di jiwa, itulah hal yang kudapat dari Mbak Indah  dan hanya  dari Mbak Indah, karena kelak setelah gonta-ganti pasangan,  tetap saja  belum pernah kudapatkan kenikmatan seperti yang kudapatkan  dari Mbak  Indah. Kepuasan dan kenikmatan yang masih terasa dalam jangka  waktu yang  cukup lama meskipun persetubuhan berakhir.
“Ingat ya, jangan  pernah sekali-kali kamu lakukan sama Sarah. Kalau  sampai kamu lakukan,  aku tidak akan pernah memaafkan kamu!” Aku  terbangun, rupanya dalam  tidurku aku bermimpi Mbak Indah  memperingatkanku tentang Sarah, adiknya.  Dan bus pun sudah mulai masuk  terminal.
Free Hot Photo